Kuantar ke Gerbang

on Friday, August 19, 2011

Judul: Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Penulis: Ramadhan KH
Desain Sampul: Natasa T.
Tata Letak: Rakhmat Ariansyah
Tebal: 466 halaman
Penerbit: Sinar Harapan , 1981

Bung Hatta mengutip dua bait sajak penyair tenar Rene de Clerq
"Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi tanah airku. Yaitu negeri yang berkembang karena perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku."

Soekarno. Siapa yang mengenal orang terbesar Indonesia ini. Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Dialah tokoh sentral roman karangan Ramadhan KH ini.

Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan ia menikahi Siti Oetari, anaknya (1921). Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923), dan meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926.


Inggit Garnasih berparas cantik. Garnasih berasal dari kata Hegar dan Asih. Hegar berarti segar dan Asih berarti cinta. Karena kecantikannya inilah, ia bagaikan sekuntum bunga mekar yang senantiasa dirubungi kumbang jantan. Banyak pria memberi hadiah dengan harapan mendapat balasan cinta berupa uang, hingga satu ringgit (2,5 rupiah). Dari kejadian-kejadian itulah Garnasih dijuluki Si Ringgit. Nama julukan inilah, yang selanjutnya menjadi Inggit, yang kemudian menempel di depan nama Garnasih. Jadilah Inggit Garnasih.

Bagaimana kehidupan Inggit Garnasih dengan Bung Karno dituliskan dalam buku ini. Masa-masa pendampingan Inggit terhadap Bung Karno seharusnya tak boleh terlewatkan dalam pelajaran Sejarah, sebab dibalik semua perjuangan pergerakan Soekarno, ada seorang wanita yang memancarkan kesetiaan dan kasihnya lewat pengorbanan cinta.

Inggit adalah seorang mojang priangan yang sebelum bertemu dengan Kusno adalah istri seorang saudagar, Haji Sanusi. Inggit dan Sanusi menerima Kusno di rumah mereka karena atas surat yang diberikan oleh HOS Cokroaminoto untuk mencarikan pemondokan bagi menantunya itu. Sanusi dan Inggit adalah aktivis Syarikat Islam, karena itu punya hubungan baik dengan HOS Cokroaminoto sebagai pendirinya.

Rumah mereka hanya sekitar 150 meter persegi, dibagi enam ruangan. Ruang tamu, ruang belajar, ruang tengah, kamar, ruang tempat pembuatan bedak, dan ruang serbaguna. Kusno mendapat ruangan paling depan. Kusno menjadi magnet bagi orang-orang. Rumah Inggit menjadi ramai karena banyak teman Kusno yang datang. Kusno disenangi karena kepintarannya berbicara dan mampu menjelaskan pikiran-pikirannya dengan mudah. Dan Inggit merasa hidupnya menjadi lebih bergairah dengan melayani Kusno dan teman-temannya.

Jalan hidup Inggit berubah ketika suatu saat Sukarno memintanya agar menjadi istrinya. Sebagai istri sah Sanusi, ia tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa ia akan mendampingi Sukarno yang dikaguminya. Proses menuju keberumahtanggaan mereka tidaklah mudah. Inggit harus meminta pada Sanusi agar memberikan talak satu padanya, sementara Sukarno harus menceraikan Sri Oetari, putri HOS Cokroaminoto. Resmilah mereka menikah pada Tahun 1923 di Bandung, saat dimana Sukarno masih berstatus mahasiswa. Inggit berusaha menghidupi keluarga barunya dengan berjualan hasil prakarya tangannya. Ia adalah sosok istri yang berwirausaha, mandiri, serta pekerja keras. Inilah langkah awal mengantar ke gerbang.

Inggit mendampingi Sukarno dalam masa-masa sulit. Yang pertama ia fokuskan adalah studi Sukarno yang masih belum selesai di THS. Di samping studinya, Sukarno juga terlibat dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia. Kesibukannya di partai maupun di kampus, dan aktivitas politiknya membuat Sukarno sering labil. Dan Inggit senantiasa hadir sebagai Ibu sekaligus teman bagi Sukarno muda. Rumah yang sekarang di Jalan Inggit Garnasih No.8 menjadi saksi diskusi politik, mencurahkan ide-ide bagi rekan seperjuangan, tempat belajar Sukarno, tempat dimana kasih dicurahkan dengan tulus.

Pendampingan Inggit tidaklah main-main. Keadaan politik saat itu yang mencurigai setiap pergerakan nasional, menyebabkan Sukarno dan kawan-kawan ditangkap dan diadili. Inggit dengan rajin mengunjungi Sukarno di penjara. Ia bersiasat menyampaikan pesan-pesan pada Sukarno. Lewat kue dan makanan yang dibawanya, ia menyampaikan uang. Lewat Al-Quran, ia menyampaikan pesan rahasia. Cerita dimana Inggit mengunjungi Sukarno di LP Sukamiskin mengharukan bagi saya. Terbayang manakala Inggit menempuh Bandung-Sukamiskin dengan berjalan kaki karena ketiadaan uang. Disamping itu Inggit membawa Omi, anak angkat mereka, karena Sukarno menyayangi anak itu. Dan terbayang manakala hujan mengguyur mereka berdua, Inggit harus memayungi mereka berdua dengan hanya satu payung.

Harapan untuk terus berkumpul bersama Sukarno pupus lagi. Setelah lepas dari Sukamiskin, Sukarno diasingkan ke Ende, Flores, NTT. Tidak terbayang bagaimana perpisahan jarak akan membuat keduanya menderita batin. Inggit memutuskan untuk ikut pembuangan Sukarno ke Ende. Tidak hanya Omi yang ikut. Ibunya Inggit, juga diajak kesana. Ke tanah baru yang jauh dari sanak keluarga, jauh dari kampung halaman, namun cinta yang memberikan kekuatan Inggit untuk tetap bersama Bung Karno.

Di Ende, Sukarno banyak membaca buku-buku tentang teologi Islam. Ia juga sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat, walaupun mungkin Sukarno tidak menemukan teman diskusi yang seimbang. Sampai suatu ketika Sukarno mengungkapkan keinginannya pada Inggit bahwa Bung Karno menginginkan buku The Spirit of Islam karangan Ameer Ali. Dalam sebuah percakapan dengan Inggit, Sukarno berkata:
"...bahwa taqlid adalah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali," kata suamiku. "Tak mengherankan," katanya, "dimana akal pikiran diterungku, dirantai, disitulah datang kematian." (h.331)

Perjuangan tidak berhenti karena pembuangan. Rekan-rekan Sukarno di Voolksraad mengusahakan pembebasan Sukarno. Thamrin mengancam Belanda akan melaporkan ke internasional jika Sukarno mati di Flores. Sepucuk surat dari Jakarta tiba di Ende, yang mengabarkan bahwa Sukarno akan dipindahkan ke Bengkulu. Sontak Inggit gembira dengan berita tersebut. Ia membayangkan akan kembali lagi ke Bandung, paling tidak, Bengkulu tidak jauh dari Pulau Jawa. Inggit kembali membawa Omi ke Bengkulu. Kisah sedih tertinggal di Ende yaitu ibunya Inggit meninggal dunia di sana mendampingi anak dan menantu mereka.

Di Bengkulu, kesabaran Inggit diuji kembali. Dengan berbesar hati ia harus menerima kenyataan bahwa Sukarno menginginkan keturunan. Dan hal itulah yang tak mampu diberikan oleh Inggit. Walau tak terkatakan, bagaimana hancurnya hati Inggit bisa terbayangkan. Sukarno meminta izin Inggit untuk menikah lagi dan tetap menempatkan Inggit sebagai first lady-nya Sukarno. Inggit meminta agar permasalahan itu akan diselesaikan jika sampai ke Jawa.

Pecahnya perang dunia kedua Tahun 1942 menyebabkan peta perpolitikan Asia berubah. Masuknya Jepang sebagai 'saudara tua' Indonesia, mengakibatkan Sukarno dibebaskan dan dibawa ke Jakarta. Inggit dan Sukarno menempati rumah di Pegangsaan Timur No.56. Keadaan rumah tangga Inggit dalam keadaan gawat. Inggit mendapati Sukarno masih menjalin hubungan asmara dengan Fatma, anak angkat mereka di Bengkulu. Fatma inilah yang kelak mendampingi Sukarno ketika Sukarno membaca teks proklamasi di Kediaman Jln Pegangsaan Timur No.56 (sekarang Jalan Proklamasi).

Dari sebuah tulisan di sebuah blog sebuah teori yang dinamakan IF THEORY, digunakan dalam kisah ini:

1. Bagaimana jika seandainya Sukarno tidak menjadi menantu HOS Cokroaminoto
2. Bagaimana seandainya tidak ada tempat menumpang yang diberikan oleh Sanusi dan Inggit?
3. Bagaimana seandainya jika Inggit tidak membiayai kuliah teknik sipil Sukarno?
4. Bagaimana seandainya jika Inggit tidak menjual jamu dan bedak?
5. Bagaimana seandainya Inggit tidak mendampingi Sukarno ke Ende?

Dan bagaimana jika yang lainnya??

Meskipun Sukarno unggul dalam pemikiran, di depan podium, di tulisan-tulisannya, namun fakta yang tak dapat ia pungkiri adalah adanya orang yang mengasihinya selalu mendukungnya. Cinta Inggit pada negeri ini terwakili pada cintanya pada Sukarno. Saya mengagumi spiritualitas bu Inggit, yang ikhlas dan berpengharapan:

"Dalam hidup ini saya tidak membawa apa-apa. Hanya dibekali dengan iman, dan iman itu tetap saya pegang, semoga untuk selama hidup saya." (h.325)

Pemikiran Inggit pun banyak terpengaruh oleh Sukarno yang gemar sekali membaca. Inggit mengakui bahwa kadangkala ia merasa rendah diri ketika berhadapan dengan Sukarno, sebab Sukarno sangat cerdas. Ia menulis apa yang diajarkan oleh Sukarno padanya:
"Kamu harus punya karakter, harus punya kepribadian, harus punya corak sendiri. Jangan sekali-kali kau seperti pohon cemara yang tertiup angin barat ikut ke barat, tertiup angin timur tertiup ke timur" (h.362).
Justru dengan karakter inilah Bu Inggit menunjukkan integritasnya. Ia tidak mau dimadu. Ia meminta diceraikan Sukarno, alih-alih sebagai istri tua. Baginya, itu harga mati, sekalipun menyesak dalam dadanya.

Inggit Garnasih dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung. Ia lahir dari keluarga petani sederhana. Ayahnya bernama Arjipan. Ibunya bernama Amsi. Inggit memiliki dua saudara, Natadisastra dan Murtasih.

Ramadhan KH menulis dalam kata pengantarnya bahwa ia melakukan wawancara pada sejumlah tokoh yang terlibat dalam roman ini, kecuali pada Sukarno. Dari buku ini dapat diketahui bahwa Bung Karno adalah penggemar seni, ia suka melukis untuk menghilangkan tekanan batinnya. Ia juga melatih sandiwara dan membentuk kelompok Sandiwara Toneel Kalimutu. karya-karyanya antara lain Dr. Setan, Hewan Dahsyat Frankenstein, " Kisah cinta putri seorang komandan Portugis di Pulau Ende, Don Louis Pareira Kumi Toro, yang menceritakan si putri Cantik Rendo (h.344) Pertanyaannya, dimanakah karya-karya Bung Karno itu semua? alangkah menariknya jika dipentaskan kembali. Selain itu kita diberitahu bahwa pemimpin kita terdahulu adalah orang yang snantiasa belajar, termasuk belajar filsafat. Bung Karno belajar aliran teologi Islam, Bung Hatta pada filsafat Yunani, dan Sutan Sjahrir menyelami hubungan kebudayaan Barat dan Timur, antara vitalitas kebudayaan Barat dan kelambanan Budaya Timur (h.335)

Buku ini sangat direkomendasikan untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang wawaasan nasionalisme. Manusia besar seperti Sukarno pun punya sisi lain di belakang prestasi besarnya. Saya hanya membayangkan andainya Sukarno membaca kalimat lirih Inggit ini, apa jawabmu hai Sukarno?

...bahwa sesungguhnya aku harus senang pulang karena menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, di gerbang hari esok yang pasti akan jauh lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai. Dan mungkin yang jauh lebih gemerlapan, lebih mewah. Tetapi apalah arti kemewahan. Yang penting adalah kebahagiaan dan itu adanya di dalam hati. Ya, yang terpenting adalah soal di dalam hati! Kebebasan, itulah yang penting... (h.454).



@hws18082011




2 comments:

olivia elena hakim said...

hwaaaaa....keren bgt.... aduh jd pengen baca :')
pilihan buku yg bagus bang epiiii

Helvry Sinaga said...

oiyaaa..makasih olip. saya memang keren
*salah fokus* xixixi

hayuuu..ini buku keren banget, banyak foto-foto jadulnya jg loh :)

Post a Comment